TUMPENG KAMARDIKAN
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
Spirit Religious, Cultural & Education
NASI Tumpeng, kuliner asli Indonesia warisan budaya bangsa nan
adiluhung, hingga kini tetap ada dan
dilestarikan generasi bangsa. Dalam acara-acara tertentu, Nasi Tumpeng beserta uba rampene juga masih tersaji. Semisal
pada peringatan ulang tahun, peresmian suatu proyek, launching badan usaha waralaba, tasyakuran maupun acara istimewa
lainnya.
Termasuk diantaranya, dalam setiap memperingati hari kemerdekaan atawa hari ulang tahun republik Indonesia. Selain ritual
memotong tumpeng, lomba Nasi Tumpeng juga menjadi tradisi dalam setiap menyemarakkan ambal warsa kemerdekaan. Baik dalam
suatu komunitas sosial, institusi suwasta demikian juga dalam semua tingkatan
struktural lembaga pemerintahan.
Sangat disayangkan, semakin banyaknya generasi bangsa yang tidak
memahami tata cara penyajian, manfaat kegunaan dan atau makna filosofi Nasi
Tumpeng, menjadikan kuliner khas yang berasal dari Jawa ini, seakan tidak lebih hanya sebagai ‘pelengkap’ dalam suatu rangkaian
acara.
Dalam filosofi filsafah jiwa jawaning wong Jawi, Nasi Tumpeng
disebut-sebut sebagai ajaran hakekat kehidupan dari nenek moyang bangsa yang
diekspresikan melalui penyajian makanan. Ajaran adi luhung ini tidak
disampaikan melalui bahasa lisan maupun tulisan, lebih merupakan ilmu kasunyatan ‘bahasa rupa’ yang padat dan sarat makna.
Baik pernak-pernik puluhan jenis bahan bakunya, ubarampe peralatan memasaknya, ketentuan penyajiannya hingga ritual
pemotongan dan pembagiannya. Itulah sebabnya, jikalau salah satu bahan baku
Nasi Tumpeng tidak terpenuhi, demikian juga urut-urutan rangkaian dan
tahapannya terlewatkan, dianggap menghilangkan mata rantai wejangan filosofi maupun hakikat kehidupan tadi.
Pralambang yang diajarkan melalui peralatan memasak, contohnya.
Paling tidak, terdapat enam unsur utama dalam jagad makrokosmos. Api melambangkan cahaya matahari, pawon atau tungku (dari batu bata
merah) simbul bumi, dandang perlambang gunung, air sebagai sumber kehidupan, kukusan
(kerucut) kawah gunung berapi, kayu bakar unsure tumbuhan atau hutan,
dan nasi yang dimasak sebagai simbul kemakmuran.
Selain bahan bakunya yang berupa nasi putih, sebagai
perlambang segala sesuatu yang kita makan haruslah bersumber dari yang bersih
(halal) menurut pranatan tradisi Nasi Tumpeng juga dilengkapi beragam lauk pauk berupa ingkung (ayam jago dimasak
utuh), telur rebus, ikan air tawar. Ikan asin dan berbagai sayuran dibumbui
urab-uraban atau gudangan.
Warisan budaya adi luhung yang sarat filosofi falsafah
kehidupan ini, dihidangkan dalam nyiru atau tampah
(berbentuk bundar terbuat dari anyaman bambu). Pinggirannya dihias daun pisang manggala berbentuk segi-tiga, dirangkai dengan lidi kawung sebagai perlambang sinar
matahari. Manggala berarti penyampai hukum atau yang menguasai aturan,
sedangkan kawung dari kata Sang Suwung yang berarti Yang Hyang Maha
Kuasa.
Nasi Tumpeng berbentuk kerucut menyerupai kemuncak
gunung atau top of mountain, sebagai
simbul prosesi ritual penghambaan manusia kepada Sang Khaliq untuk menggapai
kemuliaan dan kesempurnaan hidup. Walau wujudnya kerucut, sesungguhnya
penyajian Nasi Tumpeng terbagi menjadi tiga tangga atau tingkatan yang
mencerminkan dimensi kehidupan manusia.
Paling bawah yang dihiasi beragam sayuran dengan bumbu
urab-uraban dan anekarupa lauk pauk lainnya, sebagai lambang kemajemukan alam
kehidupan manusia, dalam jagad cilik
(mikrokosmos) maupun jagad gedhe
(makrokosmos). Sedangkan tangga kedua, pada bagian tengah Nasi Tumpeng merupakan prasarat menenging piker manungsa lan meneping dzikir mring Gusti Allah menuju kesempurnaan hidup maupun
kehidupannya.
Sedangkan tangga yang ketiga, puncaknya kerucut Nasi Tumpeng sebagai isarat penggapaian menuju
kebahagiaan yang hakiki, dalam berbagai wejangan
makrifat kejawen sering disebut juga tangga paling tinggi untuk menggapai ngilmu sangkan paraning dumadi. Karena
itulah, pada pucuk atau puncak Nasi Tumpeng ditancapkan cabe merah tegak lurus
ke atas, tak lain sebagai pepeling agar manusia senantiasa ingat mring Allah Kang Maha Tunggal. []
Ki Panji
Koeswening : Kustawa Esye dalam komunitas Kiai
Damar Sesuluh
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Aspiratif