FALSAFAH FILOSOFI
PACUL
Ketua
Komunitas Kiai Damar Sesuluh
[Spiri Religious, Cultural & Education)
‘NGELMU iku lelaku’.
Demikian wejangan Kanjeng Sunan
Kalijaga kepada Ki Ageng Selo, dalam memaknai falsafah filosofi Pacul. Menuntut
ilmu, lanjut Wali Allah di tanah Jawa tadi, tak cukup
berbekal fasih membaca wacana yang tersurat dan memaknai gatra secara harfiah.
Untuk memetik jatining
ngilmu, harus juga lantip
memaknai segala sesuatu yang tersirat. Dalam bahasa agama disebutkan ayat qauliyah, berupa ayat-ayat atau firman
Allah yang tersurat dalam kitab-Nya, Al-quran. Dan ayat Kauniah, ayat-ayat yang
tersirat dalam seluruh ciptaan Allah. Baik alam semesta beserta keseluruhan
isinya, maupun gejolak dan gejala alam semesta.
Kepada cantrik
atau santri kalong-nya, Ki Ageng
Selo yang konon mampu menangkap petir, Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutkan, agar
lantip membaca thek kliwer dan obah mosiking jagad, baik jagad cilik (mikrokosmos) maupun jagad gedhe (makrokosmos), setidaknya
membutuhkan tiga bekal utama.
“Pertama, kecerdasan pikir. Kedua, kerendahan serta kearifan
mata batin. Dan ketiga, kejernihan maupun kekhusukan dzikir”, jelas penebar agama Islam dengan
pendekatan budaya dan kearifan lokal kejawen
tadi. Tiga
prinsip kehidupan yang bermura pada piwulang
spirit spiritual religius itulah yang
mendasarinya memberikan nama dan memaknai segala sesuatu.
Termasuk salah satu diantaranya, Pacul. Senjata
pengolah tanah pertanian yang sering disebut juga cangkul ini, oleh Kanjeng
Sunan Kalijaga dijadikan media pembelajaran falsafah filosofis religius untuk
menggapai kesempurnaan hidup manusia, baik kehidupan dalam mikrokosmos maupun
makrokosmos.
Pacul
yang dianggap sebagian besar masyarakat sepele
dan nylekethe, oleh Sang Guru Sejati
di Tanah Jawi tadi lebih dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dengan sendi-sendi kehidupan maupun peradaban bangsa. Selebihnya, selain menjadi
simbol perjuangan hidup, cangkul juga merupakan kunci utama pembuka pintu
rejeki masyarakat agraris.
Pacul,
menurutnya terdiri tiga bagian. Pertama atau yang utama disebut Pacul, bagian
inti terbuat dari lempengan logam, ada
juga yang menyebut Langkir, karena
bagian paling tajam masyarakat Jawa menyebutnya Landhep. Unsur kedua disebut Bawak, lingkaran
gelung berlubang tempat kayu pegangan
atau doran disematkan. Dan ketiga disebut Doran, batang
kayu yang berfungsi sebagai pegangan cangkul.
Ketiga bagian
tadi, tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat difungsikan, ketiganya
harus bersatu padu. Itulah sebabnya, dalam wejangan
spirit spiritual kejawen Kanjeng Sunan Kalijaga, disebut Tri Tunggal atau satu kesatuan dari tiga unsur yang tidak
dapat diceraiberaikan.
Unsur pertama Pacul,
dimaknai Ngipatake
barang kang mbedungul arti
secara harfiahnya membuang bagian yang menonjol atau yang tidak rata.
Maksudnya, untuk menggapai kesempurnaan hidup
haruslah senantiasa berusaha menata dan memperbaiki kehidupannya.
Diantaranya, dengan mengekang nafsu dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak
terpuji. Baik berlebihan ego, tingginya amarah, keangkaramurkaan dan
kesewenang-wenangan. Untuk dapat menggapainya, dibutuhkan kekuatan iman dan lantiping
pikir.
Unsur kedua Bawak,
diartikan Obahing
awak atau olah gerak tubuh.
Maksudnya, agar kehidupan ini lebih hidup,
manusia berkuwajiban berikhtiar hingga batas kemampuannya. Baik untuk menggapai
cita-cita kehidupannya, demikian juga dalam
meraih pemenuhan kebutuhan hidup (lahiriyah maupun batiniah) keluarganya.
Unsur ketiga Doran,
Dongo
mring Pengeran ada juga yang
memaknai Ojo Adoh Mring Pengeran. Dalam spirit spiritual kejawen, kata
Pangeran sama halnya dengan Gusti Kang Dingengeri atau Allah tempatnya mengabdi dan berbakti. Ojo
adoh marang pangeran, berarti ‘Jangan menjauhkan diri dari Gusti
Allah’. Maksudnya, manusia juga
berkuwajiban berikhtiar secara spiritual, dengan memanjatkan doa secara khusuk
kepada Gusti Allah Kang Maha Welas lan Maha Asih, bukan kepada yang lain. []
*] Ki Panji Koeswening : Kustawa Esye
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam majalah Aspiratif edisi Perdana