Minggu, 23 Agustus 2015

FALSAFAH FILOSOFI PACUL

FALSAFAH FILOSOFI PACUL

Ki Panji Koeswening
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
[Spiri Religious, Cultural & Education)

‘NGELMU iku lelaku’. Demikian wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Selo, dalam memaknai falsafah filosofi Pacul. Menuntut ilmu, lanjut Wali Allah di tanah Jawa tadi, tak cukup berbekal fasih membaca wacana yang tersurat dan memaknai gatra secara harfiah.
Untuk memetik jatining ngilmu, harus juga lantip memaknai segala sesuatu yang tersirat. Dalam bahasa agama disebutkan ayat qauliyah, berupa ayat-ayat atau firman Allah yang tersurat dalam kitab-Nya, Al-quran. Dan ayat Kauniah,  ayat-ayat yang tersirat dalam seluruh ciptaan Allah. Baik alam semesta beserta keseluruhan isinya, maupun gejolak dan gejala alam semesta.
Kepada cantrik atau santri kalong-nya, Ki Ageng Selo yang konon mampu menangkap petir, Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutkan, agar lantip membaca thek kliwer  dan obah mosiking jagad, baik jagad cilik (mikrokosmos) maupun jagad gedhe (makrokosmos), setidaknya membutuhkan tiga bekal utama. 
“Pertama, kecerdasan pikir. Kedua, kerendahan serta kearifan mata batin. Dan ketiga, kejernihan maupun kekhusukan dzikir”,  jelas penebar agama Islam dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal kejawen tadi. Tiga  prinsip kehidupan yang bermura pada piwulang   spirit spiritual religius itulah yang mendasarinya memberikan nama dan memaknai segala sesuatu. 
Termasuk salah satu diantaranya, Pacul. Senjata pengolah tanah pertanian yang sering disebut juga cangkul ini, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dijadikan media pembelajaran falsafah filosofis religius untuk menggapai kesempurnaan hidup manusia, baik kehidupan dalam mikrokosmos maupun makrokosmos.
Pacul yang dianggap sebagian besar masyarakat sepele dan nylekethe, oleh Sang Guru Sejati di Tanah Jawi tadi lebih dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan sendi-sendi kehidupan maupun peradaban bangsa. Selebihnya, selain menjadi simbol perjuangan hidup, cangkul juga merupakan kunci utama pembuka pintu rejeki masyarakat agraris.
Pacul, menurutnya terdiri tiga bagian. Pertama atau yang utama disebut Pacul, bagian inti terbuat dari lempengan logam,  ada juga yang menyebut Langkir, karena bagian paling tajam masyarakat Jawa menyebutnya Landhep. Unsur kedua disebut Bawak, lingkaran gelung berlubang tempat kayu pegangan atau doran disematkan. Dan ketiga disebut Doran, batang kayu yang berfungsi sebagai pegangan cangkul.
Ketiga bagian  tadi, tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat difungsikan, ketiganya harus bersatu padu. Itulah sebabnya, dalam wejangan  spirit spiritual kejawen   Kanjeng Sunan Kalijaga, disebut Tri Tunggal  atau satu kesatuan dari tiga unsur yang tidak dapat diceraiberaikan.
Unsur pertama Pacul, dimaknai Ngipatake barang kang mbedungul arti secara harfiahnya membuang bagian yang menonjol atau yang tidak rata. Maksudnya, untuk menggapai kesempurnaan hidup  haruslah senantiasa berusaha menata dan memperbaiki kehidupannya. Diantaranya, dengan mengekang nafsu dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak terpuji. Baik berlebihan ego, tingginya amarah, keangkaramurkaan dan kesewenang-wenangan. Untuk dapat menggapainya, dibutuhkan kekuatan iman dan lantiping pikir.
Unsur kedua Bawak, diartikan Obahing awak atau olah gerak tubuh. Maksudnya, agar kehidupan ini lebih hidup,  manusia berkuwajiban berikhtiar hingga batas kemampuannya. Baik untuk menggapai cita-cita kehidupannya, demikian juga dalam  meraih pemenuhan kebutuhan hidup (lahiriyah maupun batiniah) keluarganya.

Unsur ketiga Doran, Dongo mring Pengeran  ada juga yang memaknai Ojo Adoh Mring Pengeran.  Dalam spirit spiritual kejawen, kata Pangeran sama halnya dengan Gusti Kang Dingengeri atau  Allah tempatnya mengabdi dan berbakti. Ojo adoh marang pangeran, berarti ‘Jangan menjauhkan diri dari Gusti Allah’.  Maksudnya, manusia juga berkuwajiban berikhtiar secara spiritual, dengan memanjatkan doa secara khusuk kepada Gusti Allah Kang Maha Welas lan Maha Asih, bukan kepada yang lain. []

*] Ki Panji Koeswening : Kustawa Esye
    Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam majalah Aspiratif edisi Perdana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar