SPIRIT SPIRITUAL SURA
Kustawa Esye
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
(Spirit Religious, Cultural & Education)
|
BULAN Sura menurut tuntunan spirit spiritual kejawen, dimaknai sebagai bulan laku spiritual keprihatinan. Banyak
juga yang menganggap bulan Sura saatnya introspeksi atau mawas diri dan waktunya
kontemplasi, membersihkan katarak jiwa serta mensucikan noktah hitam dalam
hati.
Karena keyakinan itulah, masyarakat yang masih berpegang
teguh syariat filosofi falsafah luhur jiwa
jawine wong Jawa, selain merasa dan menganggap tidak pantas, juga tidak
tepat menggelar pesta bersuka cita (semisal hajatan pernikahan, khitanan, dan
lainnya) selama bulan Sura.
Laku spiritual selama satu bulan, di awal tahun menurut
perhitungan penanggalan tahun Jawa ini, selain merancang dan menata kepribadian
dimaksud juga untuk mengendalikan hawa nafsu. Dengan bertumpu kekuatan serta
kesadaran spiritual, diyakini laku spiritual tadi dapat menyingkirkan sengkala
maupun sukerta manusia, sukses menggapai harapan serta cita-cita luhurnya.
Bulan Sura, menurut tradhisi yang hingga sekarang masih diyakini
sebagian besar orang Jawa, diyakini juga sebagai bulan keramat dan sakral.
Warga masyarakat yang memiliki talenta sensitivitas spiritual alam tan kasat mata (sering disebut juga memiliki indra ke enam), dianggap
sebagai bulan paling istimewa dibandingkan sebelas bulan lainnya.
Sura yang dalam bahasa Jawa Kawi berarti ‘dewa’, dan dalam
kamus Bahasa Jawa gagrag anyar berarti ‘wani’ (berani), diprecaya juga sebagai momentum
paling tepat untuk ngesuh budi dan ngeningke cipata rasa karsa. Selebihnya,
disebut juga sebagai wahana paling jitu untuk memohon berkah karomah anugerah
Gusti Kang Maha Welas lan Maha Asih.
Dalam tradisi Jawa yang bertepatan bulan Muharom, menurut
perhitungan penanggalan tahun Hijriyah, bulan Sura dianggap juga sebagai saat
yang tepat untuk mejalani kuwajiban luhur, juga lelaku ritual spiritual.
Membersihkan badan
wadak atau raga, disimbulkan dengan tradhisi ritual njamasi beragam barang aji
(keris, tombak, cundrik dang lainnya) sering juga disebut pusaka, membersihkan
tempat peribadatan kepada Sang Kholiq, dan membersihkan makam ahli waris yang
mendahului meninggal dunia.
Sedangkan untuk mensucikan jiwa, dijalani dengan berbagai
macam ritual. Diantaranya dengan beragam laku prihatin puasa (puasa ngebleng, puasa mutih, puasa ngrowot,
puasa ngrowot, dan lainnya), kungkum
atau merendam diri pada tempuran sungai, tapa mbisu dan lainnya.
Makna falsafah filosofi bulan Sura dalam mitologi mitos mistis kejawen inilah yang mengilhami Sultan
Agung Hanyakra Kusuma. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, tanggal 08 Juli 1633
Masehi Raja Mataram dinasti Islam pertama tadi, menyatukan perhitungan
penanggalan Jawa Kuna dengan pananggalan Islam, tahun Hijriyah.
Akulturasi perhitungan penanggalan tahun Jawa Kuna yang
berdasarkan perputaran matahari (syamsiyah), diganti dengan perhitungan
penanggalan berdasarkan perputaran rembulan (komariah). Karena penanggalan
ciptaan Sultan Agung Hanyakra Kusuma itulah, jatuhnya tanggal 1 Sura selalu bertepatan
dengan hari pasaran pada tanggal 1 Muharam.
Karya cipta Raja Mataram dinasti Islam pertama ini,
disebut-sebut sebagai akulturasi yang sangat bijak. Pasalnya, selain berdasarkan
keyakinan agama Islam, juga berlandaskan saripatinya spirit spiritual jiwa jawine wong Jawa. Inilah pralambang
manunggaling bebrayan agung, sekaligus
sebagai bukti nyata golong-gilige toleransi antarumat beragama.
Jikalau didedah lebih dalam lagi, sejak jaman dulu antara
kebudayaan Jawa dengan tuntunan agama Islam, memang bukan sebagai entitas yang
memancing debat kusir, terlebih
menyulut dan atau menyebabkan perpecahan warga masyarakat.
Pandangan Islam kejawen yang lebih mengutamakan isi
katimbang kulit luarnya, memang lebih selaras dengan cita rasa maupun ciri
khasnya budaya dan filosofi falsafah kehidupan wong Jawa di tengah kemajemukan masyarakat. Inilah yang semestinya dijadikan spirit spiritual,
introspseksi, dan kontemplasi setiap datangnya bulan Sura. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar