Kamis, 22 Oktober 2015

SPIRIT SPIRITUAL SURA

SPIRIT SPIRITUAL SURA


Kustawa Esye
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
(Spirit Religious, Cultural & Education)
BULAN Sura menurut tuntunan spirit spiritual kejawen, dimaknai sebagai bulan laku spiritual keprihatinan. Banyak juga yang menganggap bulan Sura saatnya introspeksi atau mawas diri dan waktunya kontemplasi, membersihkan katarak jiwa serta mensucikan noktah hitam dalam hati.
Karena keyakinan itulah, masyarakat yang masih berpegang teguh syariat filosofi falsafah luhur jiwa jawine wong Jawa, selain merasa dan menganggap tidak pantas, juga tidak tepat menggelar pesta bersuka cita (semisal hajatan pernikahan, khitanan, dan lainnya) selama bulan Sura.
Laku spiritual selama satu bulan, di awal tahun menurut perhitungan penanggalan tahun Jawa ini, selain merancang dan menata kepribadian dimaksud juga untuk mengendalikan hawa nafsu. Dengan bertumpu kekuatan serta kesadaran spiritual, diyakini laku spiritual tadi dapat menyingkirkan sengkala maupun sukerta manusia, sukses menggapai harapan serta cita-cita luhurnya.
Bulan Sura, menurut  tradhisi yang hingga sekarang masih diyakini sebagian besar orang Jawa, diyakini juga sebagai bulan keramat dan sakral. Warga masyarakat yang memiliki talenta sensitivitas spiritual alam tan kasat mata  (sering disebut juga memiliki indra ke enam), dianggap sebagai bulan paling istimewa dibandingkan sebelas bulan lainnya.
Sura yang dalam bahasa Jawa Kawi berarti ‘dewa’, dan dalam kamus Bahasa Jawa gagrag anyar berarti ‘wani’ (berani), diprecaya juga sebagai momentum paling tepat untuk ngesuh budi dan ngeningke cipata rasa karsa. Selebihnya, disebut juga sebagai wahana paling jitu untuk memohon berkah karomah anugerah Gusti Kang Maha Welas lan Maha Asih.
Dalam tradisi Jawa yang bertepatan bulan Muharom, menurut perhitungan penanggalan tahun Hijriyah, bulan Sura dianggap juga sebagai saat yang tepat untuk mejalani kuwajiban luhur, juga  lelaku ritual spiritual.
Membersihkan badan wadak atau raga, disimbulkan dengan tradhisi ritual njamasi beragam barang aji (keris, tombak, cundrik dang lainnya) sering juga disebut pusaka, membersihkan tempat peribadatan kepada Sang Kholiq, dan membersihkan makam ahli waris yang mendahului meninggal dunia.  
Sedangkan untuk mensucikan jiwa, dijalani dengan berbagai macam ritual. Diantaranya dengan beragam laku prihatin puasa  (puasa ngebleng, puasa mutih, puasa ngrowot, puasa ngrowot, dan lainnya), kungkum atau merendam diri pada tempuran sungai, tapa mbisu dan lainnya.
Makna falsafah filosofi bulan Sura dalam mitologi mitos mistis kejawen inilah yang mengilhami Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, tanggal 08 Juli 1633 Masehi Raja Mataram dinasti Islam pertama tadi, menyatukan perhitungan penanggalan Jawa Kuna dengan pananggalan Islam, tahun Hijriyah.
Akulturasi perhitungan penanggalan tahun Jawa Kuna yang berdasarkan perputaran matahari (syamsiyah), diganti dengan perhitungan penanggalan berdasarkan perputaran rembulan (komariah). Karena penanggalan ciptaan Sultan Agung Hanyakra Kusuma itulah, jatuhnya tanggal 1 Sura selalu bertepatan dengan hari pasaran pada tanggal 1 Muharam.
Karya cipta Raja Mataram dinasti Islam pertama ini, disebut-sebut sebagai akulturasi yang sangat bijak. Pasalnya, selain berdasarkan keyakinan agama Islam, juga berlandaskan saripatinya spirit spiritual jiwa jawine wong Jawa. Inilah pralambang manunggaling bebrayan agung, sekaligus sebagai bukti nyata golong-gilige toleransi antarumat beragama.
Jikalau didedah lebih dalam lagi, sejak jaman dulu antara kebudayaan Jawa dengan tuntunan agama Islam, memang bukan sebagai entitas yang memancing debat kusir, terlebih menyulut dan atau menyebabkan perpecahan warga masyarakat.

Pandangan Islam kejawen yang lebih mengutamakan isi katimbang kulit luarnya, memang lebih selaras dengan cita rasa maupun ciri khasnya budaya dan filosofi falsafah kehidupan wong  Jawa di tengah  kemajemukan masyarakat. Inilah yang semestinya dijadikan spirit spiritual, introspseksi, dan kontemplasi setiap datangnya bulan Sura. []

Senin, 31 Agustus 2015

TUMPENG KAMARDIKAN

TUMPENG KAMARDIKAN

Oleh Ki Panji Koeswening
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
Spirit Religious, Cultural & Education

NASI Tumpeng, kuliner asli Indonesia warisan budaya bangsa nan adiluhung, hingga  kini tetap ada dan dilestarikan generasi bangsa. Dalam acara-acara tertentu, Nasi Tumpeng beserta uba rampene juga masih tersaji. Semisal pada peringatan ulang tahun, peresmian suatu proyek, launching badan usaha waralaba, tasyakuran maupun acara istimewa lainnya.
Termasuk diantaranya, dalam setiap memperingati hari kemerdekaan atawa hari ulang tahun republik Indonesia. Selain ritual memotong tumpeng, lomba Nasi Tumpeng juga menjadi tradisi  dalam setiap menyemarakkan ambal warsa kemerdekaan. Baik dalam suatu komunitas sosial, institusi suwasta demikian juga dalam semua tingkatan struktural lembaga pemerintahan.
Sangat disayangkan, semakin banyaknya generasi bangsa yang tidak memahami tata cara penyajian, manfaat kegunaan dan atau makna filosofi Nasi Tumpeng, menjadikan kuliner khas yang berasal dari Jawa ini,  seakan tidak lebih hanya  sebagai ‘pelengkap’ dalam suatu rangkaian acara.
Dalam filosofi filsafah jiwa jawaning wong Jawi, Nasi Tumpeng disebut-sebut sebagai ajaran hakekat kehidupan dari nenek moyang bangsa yang diekspresikan melalui penyajian makanan. Ajaran  adi luhung ini tidak disampaikan melalui bahasa lisan maupun tulisan, lebih merupakan ilmu kasunyatan  ‘bahasa rupa’ yang padat dan sarat makna.
Baik pernak-pernik puluhan jenis bahan bakunya, ubarampe peralatan memasaknya, ketentuan penyajiannya hingga ritual pemotongan dan pembagiannya. Itulah sebabnya, jikalau salah satu bahan baku Nasi Tumpeng tidak terpenuhi, demikian juga urut-urutan rangkaian dan tahapannya terlewatkan, dianggap menghilangkan mata rantai wejangan filosofi maupun hakikat kehidupan tadi.
Pralambang yang diajarkan melalui peralatan memasak, contohnya. Paling tidak, terdapat enam unsur utama dalam jagad makrokosmos. Api melambangkan cahaya matahari, pawon atau tungku (dari batu bata merah)  simbul bumi, dandang perlambang gunung, air sebagai sumber kehidupan, kukusan  (kerucut) kawah gunung berapi, kayu bakar unsure tumbuhan atau hutan, dan nasi yang dimasak sebagai simbul kemakmuran.
Selain bahan bakunya yang berupa nasi putih, sebagai perlambang segala sesuatu yang kita makan haruslah bersumber dari yang bersih (halal) menurut pranatan tradisi Nasi Tumpeng juga dilengkapi beragam  lauk pauk berupa ingkung (ayam jago dimasak utuh), telur rebus, ikan air tawar. Ikan asin dan berbagai sayuran dibumbui urab-uraban atau gudangan.
Warisan budaya adi luhung yang sarat filosofi falsafah kehidupan ini, dihidangkan dalam nyiru atau tampah (berbentuk bundar terbuat dari anyaman bambu). Pinggirannya  dihias daun pisang manggala berbentuk segi-tiga, dirangkai dengan lidi kawung sebagai perlambang sinar matahari. Manggala berarti penyampai hukum atau yang menguasai aturan, sedangkan kawung dari kata Sang Suwung yang berarti Yang Hyang Maha Kuasa.
Nasi Tumpeng berbentuk kerucut menyerupai kemuncak gunung atau top of mountain, sebagai simbul prosesi ritual penghambaan manusia kepada Sang Khaliq untuk menggapai kemuliaan dan kesempurnaan hidup. Walau wujudnya kerucut, sesungguhnya penyajian Nasi Tumpeng terbagi menjadi tiga tangga atau tingkatan yang mencerminkan dimensi kehidupan manusia.
Paling bawah yang dihiasi beragam sayuran dengan bumbu urab-uraban dan anekarupa lauk pauk lainnya, sebagai lambang kemajemukan alam kehidupan manusia, dalam jagad cilik (mikrokosmos) maupun jagad gedhe (makrokosmos). Sedangkan tangga kedua, pada bagian tengah Nasi Tumpeng  merupakan prasarat menenging piker manungsa lan meneping dzikir mring Gusti Allah  menuju kesempurnaan hidup maupun kehidupannya. 
Sedangkan tangga yang ketiga,  pun­caknya kerucut Nasi Tumpeng sebagai isarat penggapaian menuju kebahagiaan yang hakiki, dalam berbagai wejangan makrifat kejawen sering disebut juga tangga paling tinggi untuk menggapai ngilmu sangkan paraning dumadi. Karena itulah, pada pucuk atau puncak Nasi Tumpeng ditancapkan cabe merah tegak lurus ke atas, tak lain sebagai pepeling agar manusia senantiasa ingat mring Allah Kang Maha Tunggal. []


Ki Panji Koeswening : Kustawa Esye dalam komunitas Kiai Damar Sesuluh
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Aspiratif

Minggu, 23 Agustus 2015

FALSAFAH FILOSOFI PACUL

FALSAFAH FILOSOFI PACUL

Ki Panji Koeswening
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
[Spiri Religious, Cultural & Education)

‘NGELMU iku lelaku’. Demikian wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Selo, dalam memaknai falsafah filosofi Pacul. Menuntut ilmu, lanjut Wali Allah di tanah Jawa tadi, tak cukup berbekal fasih membaca wacana yang tersurat dan memaknai gatra secara harfiah.
Untuk memetik jatining ngilmu, harus juga lantip memaknai segala sesuatu yang tersirat. Dalam bahasa agama disebutkan ayat qauliyah, berupa ayat-ayat atau firman Allah yang tersurat dalam kitab-Nya, Al-quran. Dan ayat Kauniah,  ayat-ayat yang tersirat dalam seluruh ciptaan Allah. Baik alam semesta beserta keseluruhan isinya, maupun gejolak dan gejala alam semesta.
Kepada cantrik atau santri kalong-nya, Ki Ageng Selo yang konon mampu menangkap petir, Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutkan, agar lantip membaca thek kliwer  dan obah mosiking jagad, baik jagad cilik (mikrokosmos) maupun jagad gedhe (makrokosmos), setidaknya membutuhkan tiga bekal utama. 
“Pertama, kecerdasan pikir. Kedua, kerendahan serta kearifan mata batin. Dan ketiga, kejernihan maupun kekhusukan dzikir”,  jelas penebar agama Islam dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal kejawen tadi. Tiga  prinsip kehidupan yang bermura pada piwulang   spirit spiritual religius itulah yang mendasarinya memberikan nama dan memaknai segala sesuatu. 
Termasuk salah satu diantaranya, Pacul. Senjata pengolah tanah pertanian yang sering disebut juga cangkul ini, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dijadikan media pembelajaran falsafah filosofis religius untuk menggapai kesempurnaan hidup manusia, baik kehidupan dalam mikrokosmos maupun makrokosmos.
Pacul yang dianggap sebagian besar masyarakat sepele dan nylekethe, oleh Sang Guru Sejati di Tanah Jawi tadi lebih dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan sendi-sendi kehidupan maupun peradaban bangsa. Selebihnya, selain menjadi simbol perjuangan hidup, cangkul juga merupakan kunci utama pembuka pintu rejeki masyarakat agraris.
Pacul, menurutnya terdiri tiga bagian. Pertama atau yang utama disebut Pacul, bagian inti terbuat dari lempengan logam,  ada juga yang menyebut Langkir, karena bagian paling tajam masyarakat Jawa menyebutnya Landhep. Unsur kedua disebut Bawak, lingkaran gelung berlubang tempat kayu pegangan atau doran disematkan. Dan ketiga disebut Doran, batang kayu yang berfungsi sebagai pegangan cangkul.
Ketiga bagian  tadi, tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat difungsikan, ketiganya harus bersatu padu. Itulah sebabnya, dalam wejangan  spirit spiritual kejawen   Kanjeng Sunan Kalijaga, disebut Tri Tunggal  atau satu kesatuan dari tiga unsur yang tidak dapat diceraiberaikan.
Unsur pertama Pacul, dimaknai Ngipatake barang kang mbedungul arti secara harfiahnya membuang bagian yang menonjol atau yang tidak rata. Maksudnya, untuk menggapai kesempurnaan hidup  haruslah senantiasa berusaha menata dan memperbaiki kehidupannya. Diantaranya, dengan mengekang nafsu dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak terpuji. Baik berlebihan ego, tingginya amarah, keangkaramurkaan dan kesewenang-wenangan. Untuk dapat menggapainya, dibutuhkan kekuatan iman dan lantiping pikir.
Unsur kedua Bawak, diartikan Obahing awak atau olah gerak tubuh. Maksudnya, agar kehidupan ini lebih hidup,  manusia berkuwajiban berikhtiar hingga batas kemampuannya. Baik untuk menggapai cita-cita kehidupannya, demikian juga dalam  meraih pemenuhan kebutuhan hidup (lahiriyah maupun batiniah) keluarganya.

Unsur ketiga Doran, Dongo mring Pengeran  ada juga yang memaknai Ojo Adoh Mring Pengeran.  Dalam spirit spiritual kejawen, kata Pangeran sama halnya dengan Gusti Kang Dingengeri atau  Allah tempatnya mengabdi dan berbakti. Ojo adoh marang pangeran, berarti ‘Jangan menjauhkan diri dari Gusti Allah’.  Maksudnya, manusia juga berkuwajiban berikhtiar secara spiritual, dengan memanjatkan doa secara khusuk kepada Gusti Allah Kang Maha Welas lan Maha Asih, bukan kepada yang lain. []

*] Ki Panji Koeswening : Kustawa Esye
    Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam majalah Aspiratif edisi Perdana