Rabu, 21 Desember 2016

TUK KAUM IBU DI HARI IBU

'GEMI NASTITI NGATI-ATI'

Ki Panji Koeswening
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
(Spirit Religious, Cultural & Education)

PITUTUR Gemi, Nastiti lan Ngati-ati yang diwariskan para leluhur kita dari generasi ke generasi, lebih sering diberikan kepada para perempuan. Bisa jadi, sejak jaman bahulak nenek moyang kita memang telah memahami dan menyadari betapa pentingnya peran kaum  ibu, dalam perahu mahligai rumah tangga.

Ibarat dalam satu ‘kesatuan komando’, filosofi adiluhung Gemi, Nastiti lan Ngati-ati mendudukkan ibu rumah tangga pada jabatan yang sangat penting dan strategis, sebagai ‘kepala staf’. Itulah sebabnya, wulangreh adiluhung ini semestinya senantiasa dibundeli dan digondeli kaum Hawa, sebagai ‘pusaka warisan leluhur’ yang tidak lapuk dimakan usia dan lekang ditelan jaman.

Pitutur Gemi, Nastiti lan Ngati-ati, sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gemi terkait bagaimana menyimpannya, Nastiti tidak terlepaskan dari bagaimana nanjakke atawa membelanjakan, dan masih diperkuat lagi Ngati-ati. Inilah telu-teluning atunggal, dalam kata Gemi mengandung unsur Nastiti dan dalam Nastiti terdapat unsur Ngati-ati.

Secara harfiah, Gemi berarti hemat. Sebagaimana kodrat jatidirinya, perempuan terlebih setelah kawengku pria dan bersetatus sebagai ibu rumah tangga, semestinya menerapka pola hidup hemat atawa tidak boros. Selain selalu bersyukur atas nafkah yang diberikan suaminya, seberapa pun besarannya juga harus mempergunakannya secara hemat.

Aplikasinya, perempuan memang semestinya tetap dan selalu dapat memilah memilih dan membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Untuk memenuhi keinginan-keinginan yang bukan kebutuhan rutinitas, selalu minta persetujuan kepada suaminya terlebih dulu, apakah benar-benar harus dibeli atau masih dapat ditunda di kemudian hari.

Orang tua kita dahulu mengajarkan pola hidup Gemi dengan kearifan lokal, nyelengi atawa menabung. Celengannya pun beraneka ragam jenis dan bentuknya, dari yang sangat sederhana berupa buluh bambu dilubang seukuran duit krincing (uang recehan/ koin), ada juga celengan gerabah beraneka rupa bentuknya. Celengannya hanya diperbolehkan dibuka atawa dipecah jikalau sudah penuh uangnya, itu pun khusus diperuntukkan memenuhi kebutuhan di luar dugaan.

Dalam kehidupan berumahtangga, prinsip hidup ini dilakukan dengan menyisihkan uang yang diterima untuk disimpan/ ditabung. Salah satu siasatnya, menghindari pembelanjaan yang belum dibutuhkan, dimaksud agar pengeluaran tidak berlebih-lebihan, bahkan melesat jauh diluar dugaan. Itulah perlunya berpola hidup prasaja dan sak madya, agar balewisma tidak gegedhen empyak kurang cagak.

Syarat untuk menggapainya, diperlukan Nastiti yang berarti cermat. Sebagai ‘kepala staf’ dalam ‘kesatuan komando’ rumah tangga, isteri dituntut cermat dan teliti dalam menyusun hingga menentukan prioritas pengeluaran. Lebih dari itu, sedapat mungkin juga memiliki siasat dan strategi khusus menyisihkannya, untuk ditabung dan atau disimpan dalam bentuk aneka perhiasan.

Prinsipnya, Nastiti adalah kecermatan pengelolaan anggaran. Kepiawaian pendamping setia suami dalam mengatur pos-pos pengeluaran, disesuaikan dan atau diselaraskan pemasukan yang dikelola, dengan memperhitungkan hal-hal tidak terduga yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Itu pun masih juga belum cukup, karena masih ada satu prinsip lagi. Ngati-ati yang secara harfiah berarti hati-hati, dimaksud dalam mengelola keuangan rumah tangga haruslah berhati-hati, agar nafkah yang berasal dari cucuran keringat suami tercinta dapat mencukupi pememenuhan kebutuhan keluarga.


Jikalau diniati dan dilakoni sepenuh hati dan dibarengi keiklasan, sebenarnya prinsip dan pola hidup Ngati-ati juga bukan perhitungan ndakik-ndakik dan terlalu njlimet yang justru akhirnya merugi, sebagaimana paribasan cincing-cincing tetep klebus. []

*] Ki Panji Koeswening nama pena Kustawa Esye
   Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Aspiratif edisi 08/ Th. II/ 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar