Filosofi Kehidupan dalam Secangkir Kopi
KI PANJI KOESWENING
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh(Spirit Religius, Cultur & Education)
KOPI, semua orang pasti pernah menikmati seduhan kopi. Minum kopi yang dituangkan dalam cangkir, bahkan telah menjelma sebagai budaya masyarakat di berbagai penjuru dunia.
Bagi para penikmat dan atau pandemen kopi, nyruput minuman khas ini tidak sekedar memadukan bubuk biji kopi dengan air panas dan ditaburi gula. Untuk menjadikan minuman kopi yang benar-benar becita rasa atau sering disebut jitu alias cespleng harus dengan takaran bahan baku yang benar-benar akurat dan pas.
Itulah sebabnya, sebagian kalangan menyebutkan jikalau akurasi tri atunggal (bubuk kopi, gula dan air panas) yang menjadikan nikmatnya minuman kopi, merupakan sains atawa ilmu pengetahuan yang tidak dapat diajarkan secara teoritis.
Jas merah, jangan melupakan sejarah. Mulai masuknya kopi ke bumi Nusantara hingga saat ini, penikmat dan atau pandemen seduhan kopi dapat menemukan cerita panjang.
Baik terkait kesedihan dan kesengsaraan para petani kopi di masa penjajahan Belanda, hingga masa keemasan bangsa Indonesia sebagai negara penghasil kopi paling nyamleng dan cespleng se dunia.
Sejarah mencatat, dalam kurun waktu tahun 1700-an benua Eropa begitu terpesona dengan kenikmatan kopi arabika dari tanah Jawa, diperkenalkan oleh Belanda lewat perusahaan dagangnya VOC. Saking populernya, hingga muncullah istilah a cup of Java (secangkir Jawa) untuk menyebut secangkir kopi dari tanah Jawa.
Tidak aneh, masyarakat Jawa yang sejak jaman nenek moyang kita memang telah dikenal sangat kreatif dalam berolah kata atau ngothak-athik tembung, menjadikan seduhan kopi sebagai pitutur luhur filosofi falsafah kehidupan adiluhung.
Kopi, dalam dimensi spirit spiritual jiwa jawining wong Jawa dimaknai sebagai kopyoring pikir atau owah gingsire (ketidakstabilan) pemikiran manusia. Itulah sebabnya, kopi itu serasa pahit sebagaimana pahit getirnya kehidupan manusia.
Meski demikian, sak pahit-pahite kopi isih bisa digawe legi dimaknai legawaning ati (kelegaan hati/ berlapang dada). Caranya, dengan ditaburi gula jarwa dasa dari gulangane rasa (mengelola perasaan baik/ tidak berburuk sangka).
Gula berbahan baku tebu, diartikan mantebe kalbu (kebulatan dan kemantapan hati). Sebagai tempat atau wadahnya, kopi bubuk dan gula tadi ditempatkan dalam cangkir, dalam bahasa Jawa kata cangkir kependekan dari nyancang pikir (mengikat dan atau mengencangkan pemikiran).
Langkah selanjutnya, adalah dikocori wedang (air panas) dimaknai wejangan kang marahi padang atine (ajaran moralitas dan religius yang mencerahkan atau menentramkan hati). Ada juga yang memaknai wedang itu ngawe-awe kadang, mengajak sanak saudara golek pepadanging aurip atau mencari pencerahan hidup.
Jangan lupa, untuk tercipta kenikmatan cita rasa dan aroma seduhan kopi yang benar-benar khas, harus diaduk bahasa Jawanya diudheg makna katanya ngupaya lan ngrekadaya ora mandek (berupaya sekuat tenaga dan terus menerus).
Mengaduknya dengan sendhok dimaknai sendhekno marang Kang Maha Kuwasa (diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa). Jangan langsung diminum, untuk dapat menikmati cita rasa dan aroma kopinya, ditunggu sampai rada adem, atau digawe lerem atine (ditentramkan hati nuraninya) barulah diminum dengan cara disruput, dengan harapan luput sedaya sengkala sukerta, goda rubeda (terhindar semua aura spiritual negatif) dan atau seluruh godaan yang kasat mata maupun tidak kasat mata). []
* Ki Panji Koeswening; Nama Pena Kustawa Esye, tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Aspiratif Edisi 12/ Th. II/ 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar