‘ELING PEPELING’ FILOSOFI CAPING
Ki Panji Koeswening
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
(Spirit Religious, Cultural & Education)
CAPING penutup kepala berbentuk kerucut, dalam filosofi jiwa jawine wong Jawa bukan sekedar produk industri rumahan. Handycraf dari anyaman bambu yang dipakai petani bekerja di sawah atau di ladang ini, merupakan produk budaya yang menjadi bagian penting dalam dimensi kehidupan manusia.
Wujud fisik caping yang menyerupai gunung, melambangkan sumber kehidupan semua mahkluk maupun beragam tumbuhan. Selain sebagai gentong sumber mata air, gunung juga merupakan lumbung aneka bahan makanan. Masyarakat Jawa, memaknai gunung sebagai pelindung keberlangsungan hidup dan kehidupan yang harus dijaga kelestariannya.
Lebih dari itu, dikupas lebih dalam lagi caping sebenarnya memiliki tiga lapisan. Dua lapisan yang di tengah berbahan bilahan bambu tebal, lebar dan kaku. Fungsinya sebagai warongko atau tulangan, agar caping kuat dan kukuh bakuh.
Makna filosofinya, isyarat kehidupan umat manusia yang harus memiliki keyakinan atau keimanan teguh dan kuat, terhadap Sang Maha Pencipta. Sebagai seruan, agar keimanan dan ketqwaan kita tidak mudah tergoyahkan beragam godaan maupun nafsu duniawi, yang melunturkan spirit religius penghambaan kita kepada Allah SWT.
Bagian atas caping yang tidak tampak dari luar, terbuat dari bambu yang ruasnya panjang berbilah kecil, nampak halus dan rapi. Mengisyaratkan agar kita senantiasa menunjukkan kehalusan budi pekerti kepada siapa saja. Kehalusan yang utuh, tanpa ruas atau sekat yang membeda-bedakan antar golongan, suku maupun keturunan.
Caping bagian bawah, terbuat dari bilah bambu lebih lebar dari bagian atasnya. Selain itu, juga terdapat anyaman melingkar untuk menempatkan kepala pemakainya. Dimaksud sebagai seruan agar apa yang nampak di luar atau dimensi lahiriyah kita, juga sama dengan dimensi batiniyah dalam diri kita.
Anyaman melingkar pada bagian dalam caping, hanya diikat dengan bagian dalam dan warongko, sehingga tidak akan nampak dari luar. Mengisyaratkan agar kita senantiasa berusaha mengikat nafsu duniawiyah, termasuk diantaranya mengendalikan aura spiritual negatif dalam diri kita.
Keseluruhan warongko atau kerangka caping, dibungkus dan diikat dengan anyaman bambu halus. Sebagai simbolis seluruh dimensi kehidupan manusia haruslah dipaduharukan dengan kehalusan fikir dan kelembutan dzikir secara utuh dan menyeluruh, tidak boleh terbelah dan terputus-putus.
Caping yang bentuknya melingkar kemudian mengerucut, merupakan filosofi perjalanan spiritual religius manusia, menuju titik perjalan hidup tertinggi, sangkan paraning dumadi. Sebagamana kodrat jatidirinya, perjalanan hidup manusia akhirnya pasti akan mengerucut kembali kepada Sang Pencipta.
Bagian bawah caping yang bundar, dimaknai juga sebagai pralampita cakra manggilingan kehidupan di dunia atau alam fana. Bagian atasnya yang berbentuk kerucut, tak lain sebagai tujuan menggapai puncak kehidupan ke alam kelanggengan atau keabadian, dalam tasauf Islam disebut alam baqa.
Caping, adalah pepeling bagi seluruh umat manusia. Agar hati nuraninya senantiasa eling lan waspada dalam menselaraskan harmonisasi habluminallah dan habluminannas. Sebagaimana diisyaratkan dalam spirit religius Islam, agar kita senantiasa memberi pencerahan kepeda seluruh umat sekalian alam, sebagai manifestasi spirit religius rahmatan lil ‘alamin. []
*) Ki Panji Koeswening;
Nama Pena Kustawa Esye
dikutip dari Majalah Aspiratif Edisi 13/ Th. III/ 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar