Inspirasi Tabloid Cempaka
Sebelum ada industri rumahan pengolahan keripik buah, hasil panen petani buah yang tak laku dibiarkan membusuk alias terbuang sia-sia.
Kerenyahan Waralaba Keripik Buah
foto : kustawa |
Sebelum ada industri rumahan pengolahan keripik buah, hasil panen petani buah yang tak laku dibiarkan membusuk alias terbuang sia-sia.
TAK semua usaha yang sukses berbekal penguasaan teknis dan keterampilan. Contohnya, industri rumahan Madiri Putra Jaya milik Arohman Mustofa. Perintis usaha waralaba olahan buah-buahan itu kini beromzet bulanan Rp 600 juta rupiah lebih. Mustofa memulai usaha tanpa bekal teknis dan keterampilan memproduksi keripik buah-buahan. Dia tertarik memproduksi aneka keripik buah-buahan karena yakin peluang pasar sangat menjanjikan.
Berbekal pengalaman sebagai penjual apel dan beragam buah lain di sebuah kios oleh-oleh di kotanya, pria hanya mengenyam pendidikan formal hingga SMP itu punya ide mengolah buah-buahan menjadi keripik. Dia ingin mengolah buah-buahan itu menjadi tahan lama dengan harga jual tinggi. Sebab, ujar warga Dukuh Tulungrejo, Desa Gerdu, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, itu, buah apel makin melimpah ruah di daerahnya.
"Saat itu, home industry keripik apel belum sebanyak saat ini. Masih langka," kata Mustofa kepada Cempaka dalam perjalanan jurnalistik wartawan bersama Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Kabupaten Karanganyar.
Untuk mewujudkan gagasan itu, dia memesan mesin pengering buah dari Bandung, Jawa Barat. Mustofa pun belajar teknis pengoperasian mesin pengering buah secara autodidak. Pada 1995, barulah dia merintis usaha itu.
Berbekal pengalaman sebagai penjual apel dan beragam buah lain di sebuah kios oleh-oleh di kotanya, pria hanya mengenyam pendidikan formal hingga SMP itu punya ide mengolah buah-buahan menjadi keripik. Dia ingin mengolah buah-buahan itu menjadi tahan lama dengan harga jual tinggi. Sebab, ujar warga Dukuh Tulungrejo, Desa Gerdu, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, itu, buah apel makin melimpah ruah di daerahnya.
"Saat itu, home industry keripik apel belum sebanyak saat ini. Masih langka," kata Mustofa kepada Cempaka dalam perjalanan jurnalistik wartawan bersama Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Kabupaten Karanganyar.
Untuk mewujudkan gagasan itu, dia memesan mesin pengering buah dari Bandung, Jawa Barat. Mustofa pun belajar teknis pengoperasian mesin pengering buah secara autodidak. Pada 1995, barulah dia merintis usaha itu.
foto : kustawa esye
Pemberdayaan Masyarakat
Mustofa menuturkan mengolah apel menjadi produk bernilai jual tinggi tak semudah yang dia bayangkan. Secara teknis harus melalui beberapa tahap proses produksi yang cukup rumit dan panjang. "Dari pemilihan atau seleksi kelayakan apel, pembersihan dengan penyemprotan, pengupasan, pengirisan, sampai perendaman dalam air," katanya.
Setelah itu, irisan apel disimpan dalam lemari pendingin (freezer) hingga 24 jam. Lalu, diopen selama dua jam, digoreng, ditiriskan, dikemas, baru dipasarkan. Dia mengatakan, buah apel yang telah diiris harus dimasukkan ke lemari pendingin agar keras dan tidak melar. Produk dikemas dengan alumunium foil agar tahan lama hingga setahun, meski tanpa bahan pengawet. "Kalau dikemas dengan plastik biasa hanya bisa bertahan tujuh bulan," kata Mustofa.
Sebelum ada industri rumahan pengolahan keripik buah, hasil panen petani buah yang tak laku dibiarkan membusuk alias terbuang sia-sia. Setelah berdiri usaha itu dan puluhan UKM keripik buah, seluruh panen petani buah, terutama apel, tak terbuang sedikit pun.
Untuk memperbaiki perekonomian masyarakat sekitar, baik usaha Mustofa maupun puluhan UKM binaannya, sepakat memanfaatkan tenaga kerja manusia ketimbang memakai mesin. Mustofa menyebut, Madiri Putra Jaya merekrut 48 orang karyawati. Setiap hari mereka mampu mengolah tak kurang dari 7 kuintal buah-buahan menjadi keripik.
Omzet setiap bulan antara Rp 600 juta dan Rp 750 juta itu, kata dia, belum termasuk 20 lebih UKM binaannya. Selain menjadi oleh-oleh khas dari Kota Batu, keripik apel dan keripik nangka Mustofa telah merambah pasar berbagai kota. Ya, keripik buahnya telah dipasarkan di Surabaya, Denpasar, Sumbawa, Solo, Semarang, Jogyakarta, Jakarta, Balikpapan, dan Batam. Keripik buah apel dan nangka yang dikirim ke berbagai penjuru kota itu dikemas 50 gram, 100 gram, 200 gram, 250 gram, 500 gram, dan 1 kilogram. Harga bervariasi, tergantung pada jenis keripik buahnya dan berat produk.
"Lima tahun terakhir banyak permintaan dari luar negeri. Namun karena produk kami sangat tergantung pada bahan baku buah-buahan musiman, kami belum dapat memenuhi," tutur dia. Padahal, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dapat mengirim produk secara rutin dengan jumlah sama. Bahkan kalau bisa selalu meningkat. (kustawa esye)
|
www.tabloidcempaka.com 26 September 2014 | 14:41 wib | Prospek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar