Rabu, 29 Maret 2017

RINDU PARUH HATI


.........................................
sebagaimana taqdirnya
satu demi satu
rekah kelopak bunga
kan berguguran
di terpa dingin
spoi sepinya dini hari
sebagaimana kodratnya
benih-benih butiran kasih
dendam rindu yang jatuh
pasti kan tumbuh lagi
dibuai gerimis musim semi
dalam paruh luruh hati mu
|.| cakkoes kustawaesye |.| edisi; rindu |.| 260217 |.|

Sabtu, 25 Maret 2017

FILOSOFI CAPING

‘ELING PEPELING’ FILOSOFI CAPING 

Ki Panji Koeswening

Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
(Spirit Religious, Cultural & Education)

CAPING penutup kepala berbentuk kerucut, dalam filosofi jiwa jawine wong Jawa bukan sekedar produk industri rumahan. Handycraf  dari anyaman bambu yang dipakai petani bekerja di sawah atau di ladang ini, merupakan produk budaya yang menjadi bagian penting dalam dimensi kehidupan manusia. 

Wujud fisik caping yang menyerupai gunung, melambangkan sumber kehidupan semua mahkluk maupun beragam tumbuhan. Selain sebagai gentong sumber mata air, gunung juga merupakan lumbung aneka bahan makanan. Masyarakat Jawa, memaknai gunung sebagai pelindung keberlangsungan hidup dan kehidupan  yang harus dijaga kelestariannya.

Lebih dari itu, dikupas lebih dalam lagi caping sebenarnya memiliki tiga lapisan. Dua lapisan yang di tengah berbahan bilahan bambu tebal, lebar dan kaku. Fungsinya sebagai warongko atau tulangan, agar caping kuat dan kukuh bakuh
Makna filosofinya, isyarat kehidupan umat manusia yang harus memiliki keyakinan atau keimanan teguh dan kuat, terhadap Sang Maha Pencipta. Sebagai seruan, agar keimanan dan ketqwaan kita tidak mudah tergoyahkan beragam godaan maupun nafsu duniawi, yang melunturkan spirit religius penghambaan kita kepada Allah SWT.
  
Bagian atas caping yang tidak tampak dari luar, terbuat dari bambu yang ruasnya panjang berbilah kecil, nampak halus dan rapi. Mengisyaratkan agar kita senantiasa menunjukkan kehalusan budi pekerti kepada siapa saja. Kehalusan yang utuh, tanpa ruas atau sekat yang membeda-bedakan antar golongan, suku maupun keturunan.  

Caping bagian bawah, terbuat dari bilah bambu lebih lebar dari bagian atasnya. Selain itu, juga terdapat anyaman melingkar untuk menempatkan kepala pemakainya. Dimaksud sebagai seruan agar apa yang nampak di luar atau dimensi lahiriyah kita,  juga sama dengan dimensi batiniyah dalam diri kita.

Anyaman melingkar pada bagian dalam caping, hanya diikat dengan bagian dalam dan warongko, sehingga tidak akan nampak dari luar. Mengisyaratkan agar kita senantiasa berusaha mengikat nafsu duniawiyah, termasuk diantaranya mengendalikan aura spiritual negatif dalam diri kita.

Keseluruhan warongko atau kerangka caping, dibungkus dan diikat dengan anyaman bambu halus. Sebagai simbolis seluruh dimensi kehidupan manusia haruslah dipaduharukan dengan kehalusan fikir dan kelembutan dzikir secara utuh dan menyeluruh, tidak boleh terbelah dan terputus-putus.

Caping yang bentuknya melingkar kemudian mengerucut, merupakan filosofi perjalanan spiritual religius manusia, menuju titik perjalan hidup tertinggi, sangkan paraning dumadi. Sebagamana kodrat jatidirinya, perjalanan hidup manusia akhirnya pasti akan mengerucut kembali kepada Sang Pencipta. 

Bagian bawah caping yang bundar, dimaknai juga sebagai pralampita cakra manggilingan kehidupan di dunia atau alam fana. Bagian atasnya yang berbentuk kerucut, tak lain sebagai tujuan menggapai  puncak kehidupan ke alam kelanggengan atau keabadian, dalam tasauf Islam disebut alam baqa.

Caping, adalah pepeling bagi seluruh umat manusia.  Agar hati nuraninya senantiasa eling lan waspada dalam menselaraskan harmonisasi habluminallah dan habluminannas. Sebagaimana diisyaratkan dalam spirit religius Islam, agar kita senantiasa memberi pencerahan kepeda seluruh umat sekalian alam, sebagai manifestasi spirit religius  rahmatan lil  ‘alamin.  []

*) Ki Panji Koeswening; 
    Nama Pena Kustawa Esye
    dikutip dari Majalah Aspiratif Edisi 13/ Th. III/ 2017

Selasa, 21 Februari 2017

JIWA JAWINING WANITA

Jiwa Jawining Wanita 

Oleh Ki Panji Koeswening 
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh 
[Spirit Religious, Cultural & Education]

MENURUT filosofi falsafah jiwane wong Jawi, keutamaan kaum Hawa  setidaknya ada lima. Sebagaimana ajaran para winasis warisan leluhur kita yang tertulis dalam pupuh tembang Sinom berikut ini; 

“Wanita kang pinilala// Jangkepe gangsal prekawis// Sepisan beciking rupa// Kapindho sucining ati// Katelu pinter wanasis// Kaping papat unggah-ungguh// Ping lima momong putra// Lan bekti mring gurulaki// Pratela yen wanita ingkang utama”/// 

Terjemahan bebasnya, “Wanita yang teramat istimewa// Lengkap lima perkara// Pertama kebersihan/ keindahan rupa// Kedua kesucian hati// Ketiga  pintar dan cerdas// Keempat sopan santun// Dan berbakti kepada suami// Itulah wanita yang utama”/// 

Perihal keutamaan wanita, sebenarnya juga tersurat dan tersirat dalam Serat Suluk Tembang Raras, karya pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yang dipesan khusus oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe Boewana V. Dalam serat suluk yang  dipublikasikan tahun 1809 tadi diuraikan, jatidhiri perempuan terutama yang telah menjalani palakrama juga ada lima hal pokok, masing-masing diibaratkan lima jari tangan kita. 

Pertama, kaum Hawa yang telah terikat tali pernikahan seharusnya nglengganani lan nglenggahi kalungguhane (menyadari keberadaan dan kedudukannya) sebagaimana ibu jari atau jari jempol. Maksudnya, secara lahiriyah maupun batiniyah jiwa raganya diabdikan kepada gurulaki atau pria pendamping hidupnya. 

Kedua, jatidiri jiwa jawining wanita utama itu diibartkan jari telunjuk. Artinya, perempuan yang telah mengarungi samudra kehidupan berumah tangga, seharusnya selalu setiya tuhu  lan mbangun miturut kepada pria yang telah menjadi pendamping hidupnya. 

Walau dikatakan ‘hukumnya wajib’, sebenarnya asas demokrasi dan pranatan budaya emansipasi perempuan bangsa kita, tetap memberikan hak dan kewenangan kepada kaum wanita untuk bisa milah lan milih. Maksudnya, ibu rumah tangga haruslah tetap selektif dan berani meyakinkan kepada suaminya, apakah perintah yang harus dijalani tadi berdampak pada kebaikan, atau justru berakibat mensengsarakan keluwarganya.

Selanjutnya yang ketiga, perempuan yang telah berkeluarga harus juga menyadari jatidirinya sebagaimana jari panunggul, disebut juga jari tengah yang keberadaannya di tengah-tengah telapak tangan. Makna filosofinya, seorang istri haruslah senantiasa ngalembana dan mengistimewakan suaminya. 

Dalam ajaran jiwa jawining wong Jawi diibaratkan kendati bagaikan dengkul diiket-iketi pria iku tetep malati, sejelek apa pun raut wajah (termasuk juga sosok tubuh) seorang suami, haruslah tetap dihormati. Ajaran leluhur kita ini, sebenarnya juga sebagaimana ajaran agama Islam yang mendudukkan kaum pria sebagi pemimpin atau imam dalam keluarga. 

Keempat, perempuan itu diibaratkan jari manis. Dalam menjalani hak dan kuwajibannya sebagai ibu rumah tangga, wanita haruslah senantiasa bertingkah laku, solahbawa, polatan lan muna-muni kang manis. Singkatnya, dalam menjalani kuwajiban luhurnya sebagai ibu rumah tangga, harusnya senantiasa berusaha menyengkan hati suami maupun putra-putrinya.   

Kelima atau yang terakhir, dalam kehidupan berumah tangga wanita seharusnya juga dapat memahami dan menyadari kedudukannya sebagai jenthik atau jari kelingking. Makna filosofinya, ibu rumah tangga dituntut dapat menerapkan enam huruf huruf [ i ] dalam mahligai biduk rumah tangganya. Selain gemi, nastiti, ngati-ati lan pinter leladi sebaikknya juga pinter ngalembana lelaki.  

Lebih istimewa lagi jikalau sang istri juga pinter mijeti suami, maksudnya dapat meluruhkan hati pasangan hidupnya yang tengah emosi, menghibur pasangan hidupnya yang tengah resah gelisah, juga selalu memberi suport dan spirit. Lebih utama lagi, istri semestinya dapat meluruskan jalan hidup suami yang menyimpang dari ajaran/ perintah agama, melengseng dari kaidah hukum, norma susila dan norma sosial kemasyarakatan. []   
Ki Panji Koeswening; nama pena Kustawa Esye
Dikutip dari Majalah Aspiratip Edisi 05/ II/2015 

Jumat, 10 Februari 2017

KOPI KEHIDUPAN

Filosofi Kehidupan dalam Secangkir Kopi


KI PANJI KOESWENING 

Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh(Spirit Religius, Cultur & Education)


KOPI, semua orang pasti pernah menikmati seduhan kopi. Minum kopi yang dituangkan dalam cangkir, bahkan telah menjelma sebagai budaya masyarakat  di berbagai penjuru dunia.

Bagi para penikmat dan atau pandemen kopi, nyruput  minuman khas ini tidak sekedar memadukan bubuk biji kopi   dengan air panas dan ditaburi gula. Untuk menjadikan minuman kopi yang benar-benar becita rasa atau sering disebut jitu alias cespleng harus dengan takaran bahan baku yang benar-benar akurat dan pas. 

Itulah sebabnya, sebagian kalangan menyebutkan jikalau    akurasi tri atunggal (bubuk kopi, gula dan air panas) yang menjadikan nikmatnya minuman kopi, merupakan sains atawa ilmu pengetahuan yang tidak dapat diajarkan secara teoritis. 

Jas merah, jangan melupakan sejarah. Mulai masuknya kopi ke bumi Nusantara hingga saat ini, penikmat dan atau pandemen seduhan kopi dapat menemukan cerita panjang. 

Baik terkait kesedihan dan kesengsaraan para petani kopi di masa penjajahan Belanda, hingga masa keemasan bangsa Indonesia sebagai negara penghasil kopi paling nyamleng dan cespleng  se  dunia. 

Sejarah mencatat, dalam kurun waktu tahun 1700-an  benua Eropa begitu terpesona dengan kenikmatan kopi arabika dari tanah Jawa, diperkenalkan oleh Belanda lewat perusahaan dagangnya VOC.  Saking populernya, hingga muncullah istilah a cup of  Java (secangkir Jawa) untuk menyebut secangkir kopi dari tanah Jawa. 

Tidak aneh, masyarakat Jawa yang sejak jaman nenek moyang kita memang telah dikenal sangat kreatif dalam berolah kata atau ngothak-athik tembung, menjadikan seduhan kopi sebagai  pitutur luhur filosofi  falsafah kehidupan adiluhung. 

Kopi, dalam dimensi spirit spiritual jiwa jawining wong Jawa dimaknai sebagai kopyoring pikir atau owah gingsire (ketidakstabilan) pemikiran manusia. Itulah sebabnya, kopi itu serasa pahit sebagaimana pahit getirnya kehidupan manusia. 

Meski demikian, sak pahit-pahite kopi isih bisa digawe legi dimaknai legawaning ati (kelegaan hati/ berlapang dada). Caranya, dengan ditaburi gula jarwa dasa dari gulangane   rasa  (mengelola perasaan baik/ tidak berburuk sangka). 

Gula berbahan baku tebu, diartikan mantebe kalbu (kebulatan dan kemantapan hati). Sebagai tempat atau wadahnya, kopi bubuk dan gula tadi ditempatkan dalam cangkir, dalam bahasa Jawa kata cangkir kependekan dari nyancang pikir (mengikat dan atau mengencangkan pemikiran). 

Langkah selanjutnya, adalah dikocori wedang (air panas) dimaknai wejangan kang marahi padang atine (ajaran moralitas dan religius yang mencerahkan atau menentramkan hati). Ada juga yang memaknai wedang itu ngawe-awe kadang, mengajak sanak saudara  golek  pepadanging aurip  atau  mencari pencerahan hidup.

Jangan lupa, untuk tercipta kenikmatan cita rasa dan aroma seduhan kopi yang benar-benar khas, harus diaduk bahasa Jawanya diudheg makna katanya ngupaya lan ngrekadaya ora mandek (berupaya sekuat tenaga dan terus menerus).

Mengaduknya  dengan sendhok dimaknai sendhekno marang Kang Maha Kuwasa (diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa). Jangan langsung diminum, untuk dapat menikmati cita rasa dan aroma kopinya, ditunggu sampai rada adem, atau digawe lerem atine (ditentramkan hati nuraninya) barulah diminum dengan cara disruput, dengan harapan luput sedaya sengkala sukerta, goda rubeda (terhindar semua aura spiritual negatif) dan atau seluruh godaan yang kasat mata maupun tidak kasat mata).  []

* Ki Panji Koeswening; Nama Pena Kustawa Esye, tulisan ini pernah dimuat  pada  Majalah Aspiratif Edisi 12/ Th. II/ 2016