Minggu, 12 April 2020

MENGURAI LAGI JEJAK KEHIDUPAN

MENGURA LAGI JEJAK KEHIDUPAN

Salam kreatif dulur-dulur............!!!!!!!
Menapak jejak pahit getirnya kehidupan dan mencatat galau gelisahnya peradaban.

Merunut dan mengurai lagi jejak kehidupan dalam https://jejakkustawaesye.blogspot.com/ yang telah dua tahun aku abaikan, karena berbagai hal. Klasik dan banyak yang menganggap alasan kurang kreatif memang, tapi itulah realitanya. Sebenarnya, memang ada beberapa 'biang keladi' yang memaksa mengabaikan wahana serta media menorehkan karya cipta yang sejujurnya dan sebenarnya sangat berarti dalam hidupku ini.

Beberapa diantaranya, karena kesibukan urusan rutinitas pekerjaan yang mengharuskan penuh waktu dijalani. Setelah kontrak kerja penuh waktu usai, pun berlanjut konsentrasi penuh lagi merampungkan penulisan beberapa buku yang jauh sebelumnya telah terencana, membuka lagi diklat menulis fiksi dan nonfiksi, secara tatap muka maupun online. Dan, belakangan ini mendirikan badan penerbitan bersama mitra kerja maupun mitra usaha yang sebenarnya telah lama terjalin.

Berkait konsentrasi kembali menulis buku yang beberapa diantaranya sudah sampai beberapa bab, bahkan ada juga yang sudah setengah jadi namun terabaikan karena sempat menggantungkan pena, syukur Alhamdulillah, hingga curhatan ini ditulis di https://jejakkustawaesye.blogspot.com/  sudah tiga buku terselesaikan. Ketiganya tinggal menunggu proses permohonan dan turunnya ISBN dari Perpusnas RI. Beberapa sedulur jauh yang masih sering berkomunikasi, sejak beberapa bulan lau telah menanyakan, buku apa saja yang telah diselesaikan, selebihnya ada yang menanyakan juga termasuk karya fiksi dan atau nonfiksi?

Mohon maaf dulur-dulur, tetap masih Saya rahasikan. Tunggu kabar berikutnya, Insya Allah tidak lama lagi terbit dan segera hadir dihadapan dulur-dulur. Walau demikian, Saya tetap  memohon. Jangan lupa jok klalen, suport spirit dan doa dari dulur-dulur tetap senantiasa didambaharapkan. Dimaksud agar  Saya terus dan tetap dapat berkarya, juga sesering mungkin menjumpai seluruh sohib di berbagai media, termasuk diantaranya di https://jejakkustawaesye.blogspot.com/ ini.



Salam Rahayu Sedayanak


Kustawa Esye

Rabu, 29 Maret 2017

RINDU PARUH HATI


.........................................
sebagaimana taqdirnya
satu demi satu
rekah kelopak bunga
kan berguguran
di terpa dingin
spoi sepinya dini hari
sebagaimana kodratnya
benih-benih butiran kasih
dendam rindu yang jatuh
pasti kan tumbuh lagi
dibuai gerimis musim semi
dalam paruh luruh hati mu
|.| cakkoes kustawaesye |.| edisi; rindu |.| 260217 |.|

Sabtu, 25 Maret 2017

FILOSOFI CAPING

‘ELING PEPELING’ FILOSOFI CAPING 

Ki Panji Koeswening

Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
(Spirit Religious, Cultural & Education)

CAPING penutup kepala berbentuk kerucut, dalam filosofi jiwa jawine wong Jawa bukan sekedar produk industri rumahan. Handycraf  dari anyaman bambu yang dipakai petani bekerja di sawah atau di ladang ini, merupakan produk budaya yang menjadi bagian penting dalam dimensi kehidupan manusia. 

Wujud fisik caping yang menyerupai gunung, melambangkan sumber kehidupan semua mahkluk maupun beragam tumbuhan. Selain sebagai gentong sumber mata air, gunung juga merupakan lumbung aneka bahan makanan. Masyarakat Jawa, memaknai gunung sebagai pelindung keberlangsungan hidup dan kehidupan  yang harus dijaga kelestariannya.

Lebih dari itu, dikupas lebih dalam lagi caping sebenarnya memiliki tiga lapisan. Dua lapisan yang di tengah berbahan bilahan bambu tebal, lebar dan kaku. Fungsinya sebagai warongko atau tulangan, agar caping kuat dan kukuh bakuh
Makna filosofinya, isyarat kehidupan umat manusia yang harus memiliki keyakinan atau keimanan teguh dan kuat, terhadap Sang Maha Pencipta. Sebagai seruan, agar keimanan dan ketqwaan kita tidak mudah tergoyahkan beragam godaan maupun nafsu duniawi, yang melunturkan spirit religius penghambaan kita kepada Allah SWT.
  
Bagian atas caping yang tidak tampak dari luar, terbuat dari bambu yang ruasnya panjang berbilah kecil, nampak halus dan rapi. Mengisyaratkan agar kita senantiasa menunjukkan kehalusan budi pekerti kepada siapa saja. Kehalusan yang utuh, tanpa ruas atau sekat yang membeda-bedakan antar golongan, suku maupun keturunan.  

Caping bagian bawah, terbuat dari bilah bambu lebih lebar dari bagian atasnya. Selain itu, juga terdapat anyaman melingkar untuk menempatkan kepala pemakainya. Dimaksud sebagai seruan agar apa yang nampak di luar atau dimensi lahiriyah kita,  juga sama dengan dimensi batiniyah dalam diri kita.

Anyaman melingkar pada bagian dalam caping, hanya diikat dengan bagian dalam dan warongko, sehingga tidak akan nampak dari luar. Mengisyaratkan agar kita senantiasa berusaha mengikat nafsu duniawiyah, termasuk diantaranya mengendalikan aura spiritual negatif dalam diri kita.

Keseluruhan warongko atau kerangka caping, dibungkus dan diikat dengan anyaman bambu halus. Sebagai simbolis seluruh dimensi kehidupan manusia haruslah dipaduharukan dengan kehalusan fikir dan kelembutan dzikir secara utuh dan menyeluruh, tidak boleh terbelah dan terputus-putus.

Caping yang bentuknya melingkar kemudian mengerucut, merupakan filosofi perjalanan spiritual religius manusia, menuju titik perjalan hidup tertinggi, sangkan paraning dumadi. Sebagamana kodrat jatidirinya, perjalanan hidup manusia akhirnya pasti akan mengerucut kembali kepada Sang Pencipta. 

Bagian bawah caping yang bundar, dimaknai juga sebagai pralampita cakra manggilingan kehidupan di dunia atau alam fana. Bagian atasnya yang berbentuk kerucut, tak lain sebagai tujuan menggapai  puncak kehidupan ke alam kelanggengan atau keabadian, dalam tasauf Islam disebut alam baqa.

Caping, adalah pepeling bagi seluruh umat manusia.  Agar hati nuraninya senantiasa eling lan waspada dalam menselaraskan harmonisasi habluminallah dan habluminannas. Sebagaimana diisyaratkan dalam spirit religius Islam, agar kita senantiasa memberi pencerahan kepeda seluruh umat sekalian alam, sebagai manifestasi spirit religius  rahmatan lil  ‘alamin.  []

*) Ki Panji Koeswening; 
    Nama Pena Kustawa Esye
    dikutip dari Majalah Aspiratif Edisi 13/ Th. III/ 2017

Selasa, 21 Februari 2017

JIWA JAWINING WANITA

Jiwa Jawining Wanita 

Oleh Ki Panji Koeswening 
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh 
[Spirit Religious, Cultural & Education]

MENURUT filosofi falsafah jiwane wong Jawi, keutamaan kaum Hawa  setidaknya ada lima. Sebagaimana ajaran para winasis warisan leluhur kita yang tertulis dalam pupuh tembang Sinom berikut ini; 

“Wanita kang pinilala// Jangkepe gangsal prekawis// Sepisan beciking rupa// Kapindho sucining ati// Katelu pinter wanasis// Kaping papat unggah-ungguh// Ping lima momong putra// Lan bekti mring gurulaki// Pratela yen wanita ingkang utama”/// 

Terjemahan bebasnya, “Wanita yang teramat istimewa// Lengkap lima perkara// Pertama kebersihan/ keindahan rupa// Kedua kesucian hati// Ketiga  pintar dan cerdas// Keempat sopan santun// Dan berbakti kepada suami// Itulah wanita yang utama”/// 

Perihal keutamaan wanita, sebenarnya juga tersurat dan tersirat dalam Serat Suluk Tembang Raras, karya pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yang dipesan khusus oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe Boewana V. Dalam serat suluk yang  dipublikasikan tahun 1809 tadi diuraikan, jatidhiri perempuan terutama yang telah menjalani palakrama juga ada lima hal pokok, masing-masing diibaratkan lima jari tangan kita. 

Pertama, kaum Hawa yang telah terikat tali pernikahan seharusnya nglengganani lan nglenggahi kalungguhane (menyadari keberadaan dan kedudukannya) sebagaimana ibu jari atau jari jempol. Maksudnya, secara lahiriyah maupun batiniyah jiwa raganya diabdikan kepada gurulaki atau pria pendamping hidupnya. 

Kedua, jatidiri jiwa jawining wanita utama itu diibartkan jari telunjuk. Artinya, perempuan yang telah mengarungi samudra kehidupan berumah tangga, seharusnya selalu setiya tuhu  lan mbangun miturut kepada pria yang telah menjadi pendamping hidupnya. 

Walau dikatakan ‘hukumnya wajib’, sebenarnya asas demokrasi dan pranatan budaya emansipasi perempuan bangsa kita, tetap memberikan hak dan kewenangan kepada kaum wanita untuk bisa milah lan milih. Maksudnya, ibu rumah tangga haruslah tetap selektif dan berani meyakinkan kepada suaminya, apakah perintah yang harus dijalani tadi berdampak pada kebaikan, atau justru berakibat mensengsarakan keluwarganya.

Selanjutnya yang ketiga, perempuan yang telah berkeluarga harus juga menyadari jatidirinya sebagaimana jari panunggul, disebut juga jari tengah yang keberadaannya di tengah-tengah telapak tangan. Makna filosofinya, seorang istri haruslah senantiasa ngalembana dan mengistimewakan suaminya. 

Dalam ajaran jiwa jawining wong Jawi diibaratkan kendati bagaikan dengkul diiket-iketi pria iku tetep malati, sejelek apa pun raut wajah (termasuk juga sosok tubuh) seorang suami, haruslah tetap dihormati. Ajaran leluhur kita ini, sebenarnya juga sebagaimana ajaran agama Islam yang mendudukkan kaum pria sebagi pemimpin atau imam dalam keluarga. 

Keempat, perempuan itu diibaratkan jari manis. Dalam menjalani hak dan kuwajibannya sebagai ibu rumah tangga, wanita haruslah senantiasa bertingkah laku, solahbawa, polatan lan muna-muni kang manis. Singkatnya, dalam menjalani kuwajiban luhurnya sebagai ibu rumah tangga, harusnya senantiasa berusaha menyengkan hati suami maupun putra-putrinya.   

Kelima atau yang terakhir, dalam kehidupan berumah tangga wanita seharusnya juga dapat memahami dan menyadari kedudukannya sebagai jenthik atau jari kelingking. Makna filosofinya, ibu rumah tangga dituntut dapat menerapkan enam huruf huruf [ i ] dalam mahligai biduk rumah tangganya. Selain gemi, nastiti, ngati-ati lan pinter leladi sebaikknya juga pinter ngalembana lelaki.  

Lebih istimewa lagi jikalau sang istri juga pinter mijeti suami, maksudnya dapat meluruhkan hati pasangan hidupnya yang tengah emosi, menghibur pasangan hidupnya yang tengah resah gelisah, juga selalu memberi suport dan spirit. Lebih utama lagi, istri semestinya dapat meluruskan jalan hidup suami yang menyimpang dari ajaran/ perintah agama, melengseng dari kaidah hukum, norma susila dan norma sosial kemasyarakatan. []   
Ki Panji Koeswening; nama pena Kustawa Esye
Dikutip dari Majalah Aspiratip Edisi 05/ II/2015 

Jumat, 10 Februari 2017

KOPI KEHIDUPAN

Filosofi Kehidupan dalam Secangkir Kopi


KI PANJI KOESWENING 

Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh(Spirit Religius, Cultur & Education)


KOPI, semua orang pasti pernah menikmati seduhan kopi. Minum kopi yang dituangkan dalam cangkir, bahkan telah menjelma sebagai budaya masyarakat  di berbagai penjuru dunia.

Bagi para penikmat dan atau pandemen kopi, nyruput  minuman khas ini tidak sekedar memadukan bubuk biji kopi   dengan air panas dan ditaburi gula. Untuk menjadikan minuman kopi yang benar-benar becita rasa atau sering disebut jitu alias cespleng harus dengan takaran bahan baku yang benar-benar akurat dan pas. 

Itulah sebabnya, sebagian kalangan menyebutkan jikalau    akurasi tri atunggal (bubuk kopi, gula dan air panas) yang menjadikan nikmatnya minuman kopi, merupakan sains atawa ilmu pengetahuan yang tidak dapat diajarkan secara teoritis. 

Jas merah, jangan melupakan sejarah. Mulai masuknya kopi ke bumi Nusantara hingga saat ini, penikmat dan atau pandemen seduhan kopi dapat menemukan cerita panjang. 

Baik terkait kesedihan dan kesengsaraan para petani kopi di masa penjajahan Belanda, hingga masa keemasan bangsa Indonesia sebagai negara penghasil kopi paling nyamleng dan cespleng  se  dunia. 

Sejarah mencatat, dalam kurun waktu tahun 1700-an  benua Eropa begitu terpesona dengan kenikmatan kopi arabika dari tanah Jawa, diperkenalkan oleh Belanda lewat perusahaan dagangnya VOC.  Saking populernya, hingga muncullah istilah a cup of  Java (secangkir Jawa) untuk menyebut secangkir kopi dari tanah Jawa. 

Tidak aneh, masyarakat Jawa yang sejak jaman nenek moyang kita memang telah dikenal sangat kreatif dalam berolah kata atau ngothak-athik tembung, menjadikan seduhan kopi sebagai  pitutur luhur filosofi  falsafah kehidupan adiluhung. 

Kopi, dalam dimensi spirit spiritual jiwa jawining wong Jawa dimaknai sebagai kopyoring pikir atau owah gingsire (ketidakstabilan) pemikiran manusia. Itulah sebabnya, kopi itu serasa pahit sebagaimana pahit getirnya kehidupan manusia. 

Meski demikian, sak pahit-pahite kopi isih bisa digawe legi dimaknai legawaning ati (kelegaan hati/ berlapang dada). Caranya, dengan ditaburi gula jarwa dasa dari gulangane   rasa  (mengelola perasaan baik/ tidak berburuk sangka). 

Gula berbahan baku tebu, diartikan mantebe kalbu (kebulatan dan kemantapan hati). Sebagai tempat atau wadahnya, kopi bubuk dan gula tadi ditempatkan dalam cangkir, dalam bahasa Jawa kata cangkir kependekan dari nyancang pikir (mengikat dan atau mengencangkan pemikiran). 

Langkah selanjutnya, adalah dikocori wedang (air panas) dimaknai wejangan kang marahi padang atine (ajaran moralitas dan religius yang mencerahkan atau menentramkan hati). Ada juga yang memaknai wedang itu ngawe-awe kadang, mengajak sanak saudara  golek  pepadanging aurip  atau  mencari pencerahan hidup.

Jangan lupa, untuk tercipta kenikmatan cita rasa dan aroma seduhan kopi yang benar-benar khas, harus diaduk bahasa Jawanya diudheg makna katanya ngupaya lan ngrekadaya ora mandek (berupaya sekuat tenaga dan terus menerus).

Mengaduknya  dengan sendhok dimaknai sendhekno marang Kang Maha Kuwasa (diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa). Jangan langsung diminum, untuk dapat menikmati cita rasa dan aroma kopinya, ditunggu sampai rada adem, atau digawe lerem atine (ditentramkan hati nuraninya) barulah diminum dengan cara disruput, dengan harapan luput sedaya sengkala sukerta, goda rubeda (terhindar semua aura spiritual negatif) dan atau seluruh godaan yang kasat mata maupun tidak kasat mata).  []

* Ki Panji Koeswening; Nama Pena Kustawa Esye, tulisan ini pernah dimuat  pada  Majalah Aspiratif Edisi 12/ Th. II/ 2016 



Rabu, 21 Desember 2016

TUK KAUM IBU DI HARI IBU

'GEMI NASTITI NGATI-ATI'

Ki Panji Koeswening
Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh
(Spirit Religious, Cultural & Education)

PITUTUR Gemi, Nastiti lan Ngati-ati yang diwariskan para leluhur kita dari generasi ke generasi, lebih sering diberikan kepada para perempuan. Bisa jadi, sejak jaman bahulak nenek moyang kita memang telah memahami dan menyadari betapa pentingnya peran kaum  ibu, dalam perahu mahligai rumah tangga.

Ibarat dalam satu ‘kesatuan komando’, filosofi adiluhung Gemi, Nastiti lan Ngati-ati mendudukkan ibu rumah tangga pada jabatan yang sangat penting dan strategis, sebagai ‘kepala staf’. Itulah sebabnya, wulangreh adiluhung ini semestinya senantiasa dibundeli dan digondeli kaum Hawa, sebagai ‘pusaka warisan leluhur’ yang tidak lapuk dimakan usia dan lekang ditelan jaman.

Pitutur Gemi, Nastiti lan Ngati-ati, sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gemi terkait bagaimana menyimpannya, Nastiti tidak terlepaskan dari bagaimana nanjakke atawa membelanjakan, dan masih diperkuat lagi Ngati-ati. Inilah telu-teluning atunggal, dalam kata Gemi mengandung unsur Nastiti dan dalam Nastiti terdapat unsur Ngati-ati.

Secara harfiah, Gemi berarti hemat. Sebagaimana kodrat jatidirinya, perempuan terlebih setelah kawengku pria dan bersetatus sebagai ibu rumah tangga, semestinya menerapka pola hidup hemat atawa tidak boros. Selain selalu bersyukur atas nafkah yang diberikan suaminya, seberapa pun besarannya juga harus mempergunakannya secara hemat.

Aplikasinya, perempuan memang semestinya tetap dan selalu dapat memilah memilih dan membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Untuk memenuhi keinginan-keinginan yang bukan kebutuhan rutinitas, selalu minta persetujuan kepada suaminya terlebih dulu, apakah benar-benar harus dibeli atau masih dapat ditunda di kemudian hari.

Orang tua kita dahulu mengajarkan pola hidup Gemi dengan kearifan lokal, nyelengi atawa menabung. Celengannya pun beraneka ragam jenis dan bentuknya, dari yang sangat sederhana berupa buluh bambu dilubang seukuran duit krincing (uang recehan/ koin), ada juga celengan gerabah beraneka rupa bentuknya. Celengannya hanya diperbolehkan dibuka atawa dipecah jikalau sudah penuh uangnya, itu pun khusus diperuntukkan memenuhi kebutuhan di luar dugaan.

Dalam kehidupan berumahtangga, prinsip hidup ini dilakukan dengan menyisihkan uang yang diterima untuk disimpan/ ditabung. Salah satu siasatnya, menghindari pembelanjaan yang belum dibutuhkan, dimaksud agar pengeluaran tidak berlebih-lebihan, bahkan melesat jauh diluar dugaan. Itulah perlunya berpola hidup prasaja dan sak madya, agar balewisma tidak gegedhen empyak kurang cagak.

Syarat untuk menggapainya, diperlukan Nastiti yang berarti cermat. Sebagai ‘kepala staf’ dalam ‘kesatuan komando’ rumah tangga, isteri dituntut cermat dan teliti dalam menyusun hingga menentukan prioritas pengeluaran. Lebih dari itu, sedapat mungkin juga memiliki siasat dan strategi khusus menyisihkannya, untuk ditabung dan atau disimpan dalam bentuk aneka perhiasan.

Prinsipnya, Nastiti adalah kecermatan pengelolaan anggaran. Kepiawaian pendamping setia suami dalam mengatur pos-pos pengeluaran, disesuaikan dan atau diselaraskan pemasukan yang dikelola, dengan memperhitungkan hal-hal tidak terduga yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Itu pun masih juga belum cukup, karena masih ada satu prinsip lagi. Ngati-ati yang secara harfiah berarti hati-hati, dimaksud dalam mengelola keuangan rumah tangga haruslah berhati-hati, agar nafkah yang berasal dari cucuran keringat suami tercinta dapat mencukupi pememenuhan kebutuhan keluarga.


Jikalau diniati dan dilakoni sepenuh hati dan dibarengi keiklasan, sebenarnya prinsip dan pola hidup Ngati-ati juga bukan perhitungan ndakik-ndakik dan terlalu njlimet yang justru akhirnya merugi, sebagaimana paribasan cincing-cincing tetep klebus. []

*] Ki Panji Koeswening nama pena Kustawa Esye
   Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Aspiratif edisi 08/ Th. II/ 2016




Rabu, 14 Desember 2016

DIAN SANG PENCERAH

 [] reportase kustawa esye/ foto-foto dok. sahabat kapas dan kustawa esye

DIAN SASMITA; PEMBUKA TABIR GELAP 
MASA DEPAN ANAK-ANAK TERPIDANA


DIAN, SAPAAN AKRAPNYA. TAHUN 2009 TERJUN TOTAL MENDAMPINGI ANAK-ANAK TERPIDANA,  MENGABDIKIAN DIRI UNTUK  MENUMBUHKEMBANGKAN SPIRIT HIDUP DAN MEMBUKA TABIR GELAP  MASA DEPAN ANAK-ANAK PENGHUNI TIRALI BESI. 

TERBIUS ‘candu’ senyum ceria dan demi masa depan anak-anak yang terjerat kasus pidana, serta terpaksa menjalani hidup di penjara, Dian Sasmita memilih mengundurkan diri rutinitas pekerjaan kesehariannya, dan menanggalkan titian karir profesinya yang kian memuncak.

Semenjak tahun 2007,  alumni Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tahun 2004 ini, tercatat telah lulus sertifikasi sebagai pengacara. Dan, sejak tahun 2007 itu juga dia bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yayasan Atma (Solo), dengan lebih memfokuskan pendampingan dan memberikan bantuan hukum kepada perempuan maupun anak-anak yang terjerat berbagai kasus hukum pidana.

Selama menekuni karirnya sebagai pengacara, perempuan kelahiran Ambarawa, Salatiga, 35 tahun lalu ini sering mendampingi anak-anak yang bersentuhan dengan beragam kasus hukum, hingga sering bolak-balik ke lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang disebut-sebut penjara atawa Rumah Tahanan (Rutan) bagi masyarakat awam.

Dari interaksi langsungnya dengan anak-anak yang tersandung masalah hukum, kemudian terpaksa menjalani hidup di balik jeruji besi itulah, Dian Sasmita menemukan data angka dan fakta, sebagian besar anak-anak yang menghuni penjara, pernah menjadi korban kekerasan pada masa kecilnya.

“Selain dari orangtua dan atau anggota keluarga mereka sendiri, ada juga anak yang menjadi korban penelantaran dan perundungan atau bullying,” jelas aktifis perlindungan hak anak yang sejak tahun 2000 menetap di Solo tadi.

Terspirit naluri keibuannya, untuk menolong anak-anak yang dirundung kemalangan tadi agar tidak lebih terpuruk, sebagaimana pepatah ‘Sudah jatuh masih tertimpa tangga juga’, tahun 2009 Dian Sasmita memutuskan lebih total mendampingi anak-anak terpidana.

Perempuan yang akrap disapa Dian ini, sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk mendengarkan, ngobrol, menemani, memberi semangat, dan berusaha membuka lagi pintu masa depan anak-anak yang menghuni jeruji besi. Bersama sejumlah rekan-rekannya yang memiliki kepedulian serupa, dia mendirikan Sahabat Kapas.

Dengan komunitas inilah, istri Kartika Bagus Cahyono tadi lebih konsentrasi dan rutinitas mendampingi anak-anak penghuni Rumah Tahanan. Diceritakan juga, waktu itu ada 12 anak penghuni Lapas Kelas I Solo yang didampingi komunitasnya.

Menurut Dian, penyebab perilaku negatif anak-anak sebenarnya sangat kompleks dan melibatkan orang-orang di sekitarnya maupun lingkungan tempat tinggalnya. Namun demikian yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat melabeli mereka dengan stigma anak bermasalah selamanya.

“Akibatnya, tak ada yang peduli pada nasib dan masa depan mereka. Sebagian masyarakat, bahkan menolak mereka ketika bebas dari penjara. Dengan begitu, masa depan mereka pun pupus. Anak-anak malang itu harus ditolong dan dientaskan dari keterpurukan yang dideritanya,” pesan dia penuh harap.
Bagi Dian Sasmita,  senyum anak-anak di penjara adalah magnet yang senantiasa memberi spirit dan motifasi untuk berbagi kepedulian maupun  perhatian. Tiada pernah memilih dan memilah apapun kasusnya yang menjerat dan memaksa mereka menjalani hukuman penjara, tetap saja anak-anak yang butuh pendampingan dan perhatian.

Perkembangan selanjutnya, Sahabat Kapas yang dibidani dan dikomandani Dian Sasmita, kini telah dimotori tak kurang 14 relawan, 11 di antaranya mahasiswa. Termasuk salah satunya, Kartika Bagus Cahyono, suaminya yang berprofesi sebagai jurnalis salah sebuah stasiun televisi nasional.

“Magnet terbesar yang melahirkan Sahabat Kapas, adalah senyum anak-anak di dalam penjara. Seusai bertemu mereka, serasa ada ‘candu’ yang membuat kami merindukan untuk segera bertemu dan berinteraksi lagi,” cerita Dian Sasmita penuh semangat.

Dikatakan juga,  Sahabat Kapas kini mendampingi 127 anak-anak yang tersebar di tiga Rumah Tahanan di Soloraya (Eks. Karisidenan Surakarta) Lapas Klaten, Rutan Solo, Rutan Wonogiri, dan LPKA Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah.

Aktivitas pendampingannya selain didukung Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Jawa Tengah serta Kementerian Hukum, juga   HAM. Terhitung sejak tahun 2015, Sahabat Kapas menjalin kerja sama dengan UNICEF dan Global Fund for Children.

Dian yang lebih suka disebut sebagai ibu rumah tangga katimbang sejumlah aktifitasnya lainnya, kepada Cempaka mengaku tiada pernah kesulitan membagi waktu untuk urusan rumah tangga dengan aktifitas sosial kemanusiannya di Sahabat Kapas.

“Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, seperti belanja kebutuhan keluarga dan memasak, barulah beralih peran mengurus kegiatan komunitas Sahabat Kapas,” jelas dia. Secara kebetulan kantor maupun ‘markas’ tempat berkumpulnya belasan relawan Sahabat Kapas  juga  di rumahnya, Jln. Jambu II/36, Tohudan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar.
Secara rutin dan terjadwal, Dian bersama sejumlah relawan lainnya mengunjungi Rutan, Lapas maupun Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Soloraya bahkan di daerah lainnya, untuk menemui anak-anak yang sedang tersandung masalah hukum.

Karena seringnya berkunjung, bagi perempuan yang pernah meraih penghargaan dari bebeberapa institusi (diantaranya Sarinah Award dari PDI-P tahun 2014 dan Kartini Award dari Solo Paragon di tahun yang sama) ini,  Rumah Tahanan sudah dianggapnya seperti rumah kedua.

Aktifitas lainnya, di luar status utamanya sebagai ibu rumah tangga yang hobi mencoba resep makanan, dan penggiat hak anak khususnya anak-anak kondisi khusus dan rentan, lebih spesial lagi  anak di dalam Rumah Tahanan, perempuan yang suka traveling ini juga mengisi hari liburnya dengan gowes sepeda lipat kesayangannya. [] kustawa esye

Dimuat di Tabloid Cempaka (Suara Merdeka Network)
Edisi; 31/ XXVII/ 12 - 18 Nopember 2016
www.tabloidcempaka.com